PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
PERATURAN BERSAMA
MENTERI DALAM
NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
NOMOR : 43 TAHUN 2009
NOMOR: 41 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN
PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN
TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DALAM
NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu modal sosial
dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan
tumbuh dari leluhur Bangsa Indonesia;
|
|
|
|
b.
|
bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
merupakan warga negara Republik Indonesia, berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini
kepercayaannya;
|
|
|
|
c.
|
bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, pemerintah daerah
berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, ketenteraman,
ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi
masyarakat dalam melestarikan nilai sosial budaya;
|
|
|
|
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelayanan kepada
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
|
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);
|
|
|
|
2.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana beberapa
kali telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
|
|
|
|
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4674);
|
|
|
|
4.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4916);
|
|
|
|
5.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk
Keperluan Tempat Pemakaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3350);
|
|
|
|
6.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4736);
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
|
|
|
|
|
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.
|
||
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan Bersama
ini, yang dimaksud dengan:
1. Pelayanan adalah layanan diberikan oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah kepada Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan administrasi organisasi,
pemakaman, dan sasana sarasehan atau sebutan lain.
2. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan
yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan
lokal bangsa Indonesia.
3. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya
disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat
Kepercayaan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
5. Sasana
Sarasehan atau sebutan lain adalah tempat untuk melakukan kegiatan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk kegiatan ritual.
6. Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan
telah terinventarisasi pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
7. Surat Keterangan Terdaftar selanjutnya disingkat SKT adalah bukti
organisasi Penghayat Kepercayaan telah terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan.
8. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
LINGKUP PELAYANAN
KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Pasal 2
(1)
Pemerintah
Daerah memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2)
Pelayanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
administrasi
organisasi Penghayat Kepercayaan;
b.
pemakaman;
dan
c.
sasana
sarasehan atau sebutan lain.
Pasal 3
Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, pemerintah provinsi berkewajiban:
a. memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya
kerukunan masyarakat;
b. menumbuhkembangkan
keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya antara
Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;
c. mengoordinasikan
kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di provinsi dalam pemeliharaan
kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat.
Pasal 4
Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, pemerintah kabupaten/kota
berkewajiban:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan
masyarakat;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;
c. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah
di kabupaten/kota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan; dan
d. fasilitasi
pemakaman Penghayat Kepercayaan di tempat pemakaman umum.
BAB III
PELAYANAN ADMINISTRASI ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN
Pasal 5
(1) Gubernur menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk
provinsi.
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
persyaratan sebagai berikut:
a.
akte pendirian yang dibuat
oleh Notaris;
b.
program kerja ditandatangani ketua
dan sekretaris;
c.
Surat
Keputusan Pendiri atau hasil
musyawarah nasional atau sebutan
lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d.
SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e.
Foto
copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f.
Riwayat
hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto
copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus
provinsi
yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1
lembar:
g.
formulir isian;
h.
data lapangan;
i.
foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;
j.
Nomor
Pokok Wajib Pajak;
k.
Surat
Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah
dan camat;
l.
surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
m.
surat
keterangan
organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang
ditandatangani ketua
dan sekretaris;
dan
n.
surat
keterangan
bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang
ditandatangani ketua
dan sekretaris.
Pasal 6
(1) Bupati/walikota menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan
untuk kabupaten/kota.
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
persyaratan sebagai berikut:
a.
akte pendirian yang dibuat
oleh Notaris;
b.
program kerja ditandatangani ketua
dan sekretaris;
c.
Surat
Keputusan Pendiri atau hasil
musyawarah nasional atau sebutan
lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d.
SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e.
foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f.
riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto
copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus
provinsi
yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1
lembar:
g.
formulir isian;
h.
data lapangan;
i.
foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;
j.
Nomor
Pokok Wajib Pajak;
k.
Surat
Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah
dan camat;
l.
surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
m.
surat
keterangan
organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang
ditandatangani ketua
dan sekretaris;
dan
n.
surat
keterangan
bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang
ditandatangani ketua
dan sekretaris.
Pasal 7
Surat Keterangan Terinventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e
dan Pasal 6 ayat (2) huruf d diajukan oleh pengurus organisasi kepada Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata melalui dinas/lembaga/unit kerja yang mempunyai
tugas dan fungsi menangani kebudayaan
dengan melampirkan
persyaratan sebagai berikut:
a.
formulir isian A, A1, dan A2;
b.
AD /
ART;
c.
ajaran tertulis;
d.
susunan pengurus;
e.
daftar nominatif anggota;
f.
program kerja; dan
g.
riwayat hidup sesepuh.
BAB IV
PEMAKAMAN
Pasal
8
(1)
Penghayat
Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum.
(2)
Dalam hal pemakaman
Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf,
pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum.
(3)
Lahan pemakaman
umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat Kepercayaan.
(4)
Bupati/walikota
memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat
Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menjadi pemakaman umum.
BAB
V
SASANA SARASEHAN ATAU SEBUTAN LAIN
Pasal
9
(1)
Penyediaan
sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan atas keperluan nyata
dan sungguh-sungguh bagi Penghayat Kepercayaan.
(2)
Penyediaan
sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa bangunan baru atau
bangunan lain yang dialih fungsikan.
Pasal 10
Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan
teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Penghayat Kepercayaan
mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan untuk penyediaan sasana
sarasehan atau sebutan lain dengan bangunan baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) kepada Bupati/Walikota.
(2) Bupati/Walikota
memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya
permohonan pendirian sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1)
Penyediaan sasana
sarasehan atau sebutan lainnya yang telah mendapat ijin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 mendapat penolakan dari masyarakat, Pemerintah Daerah
memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud.
(2)
Dalam hal
fasilitasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terlaksana, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk
pembangunan sasana sarasehan atau sebutan lain.
Pasal 13
Bupati/Walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung sasana sarasehan atau sebutan
lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena
perubahan rencana tata ruang wilayah.
BAB
VI
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
Pasal
14
(1)
Perselisihan antara
Penghayat Kepercayaan dengan bukan Penghayat Kepercayaan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat
antar kedua belah pihak.
(2)
Dalam hal
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, gubernur atau bupati/walikota memfasilitasi penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam hal
fasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui proses peradilan.
BAB
VII
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
15
(1)
Menteri Dalam
Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2)
Pembinaan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengoordinasikan gubernur
dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada
bupati/walikota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(3)
Pengawasan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memantau gubernur dalam
pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota
dalam pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan.
Pasal 16
(1) Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas
pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan.
(2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a.
pemberian pedoman;
b.
pemberian bimbingan
teknis, konsultasi, supervisi; dan
c.
dokumentasi dan
publikasi.
(3)
Pengawasan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi
terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan.
Pasal 17
Gubernur
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan Penghayat
Kepercayaan.
BAB
VIII
PELAPORAN
Pasal 18
(1)
Bupati/walikota
melaporkan tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di kabupaten/kota kepada
gubernur.
(2)
Gubernur melaporkan
tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
(3)
Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam)
bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
BAB IX
PENDANAAN
Pasal 19
(1) Pendanaan
pembinaan dan pengawasan
terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan secara nasional didanai dari dan atas
beban:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
dan
b. sumber lain yang sah dan
tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pendanaan
pelaksanaan,
pembinaan dan pengawasan terhadap
pelayanan Penghayat
Kepercayaan di provinsi
dapat didanai dari dan atas
beban:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi;
dan
b. sumber lain yang sah dan
tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(3) Pendanaan
pelaksanaan,
pembinaan dan pengawasan terhadap
pelayanan Penghayat
Kepercayaan di kabupaten/kota
dapat didanai dari dan atas
beban:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota;
dan
b. Sumber lain yang sah dan
tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan terhadap Penghayat
Kepercayaan di provinsi diatur dengan Peraturan
Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Bersama ini paling lambat 2
(dua) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.
Pasal 21
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
16 September 2009
MENTERI
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA, MENTERI
DALAM NEGERI,
ttd ttd
JERO WACIK H. MARDIYANTO
Komentar
Posting Komentar